Nice and Sweet ^o^

Tuesday 28 October 2008

Let Go

Hidup selalu mengajarkan sesuatu kepada kita, entah kita mau ataupun tidak mau untuk belajar. Dan hari-hari ini, entah mengapa dan bagaimana, secara berkesinambungan kehidupan banyak mengajariku mengenai keikhlasan.

Ketika nonton DAAI TV mungkin sekitar sebulanan yang lalu, pada salah satu dramanya ada kata-kata yang sangat kuingat, “kerelaan untuk melepaskan, adalah kebijaksanaan yang sejati.”

Terus terang sampai sekarang aku masih kurang mengerti hubungan antara kerelaan untuk melepaskan, dengan kebijaksanaan yang sejati. Tetapi satu hal yang aku tau, kerelaan itu memberikan hati yang damai dan tenang.

Belum lama aku bertanya kepada seseorang, “apa sih rahasianya bisa ikhlas?” (Betewe…. Apakah ikhlas sama dengan rela? Saat ini kuanggap ikhlas = rela). Dia menjawab, “rahasianya adalah, ya ikhlasin ajah.” Well…. Mungkin memang tergantung niat kali yah :) Kemudian ia memberikan contoh-contoh implementasinya. Tetapi lain kali saja yah baru diceritakan :D

Ketika misa minggu kemarin, pastor berkhotbah seperti ini. Segala sesuatu yang ada pada kita saat ini, semua berasal dari Tuhan. Keluarga kita, kawan-kawan kita, sahabat-sahabat kita, harta kita, dan sebagainya, semuanya adalah pemberian Tuhan. Kalau semua berasal dari Tuhan, maka relakanlah apabila kembali kepada Tuhan. Bunda Maria memberikan teladan yang sangat luar biasa ketika mengikuti perjalanan salib Anaknya. Suatu kerelaan hati yang luar biasa dari seorang ibu yang melihat dengan matanya sendiri di hadapannya bagaimana Anaknya disiksa dan wafat. Anaknya berasal dari Tuhan. Direlakannya kembali kepada Tuhan. Kupikir, selama hidup pun, ia telah mengasuh Anaknya, sebagai titipan dari Tuhan, bukan sepenuhnya miliknya.

Tiba-tiba aku teringat sebuah pelajaran yang diajarkan seorang teman. Ia mengambil sebuah pena (karena itu adalah benda yang paling dekat dengan kami saat itu), menarik tanganku, dan membuat sedemikian rupa sehingga telapak tanganku terbuka menghadap ke atas. “Kalau Tuhan memberikan sesuatu pada kita,” katanya sambil meletakkan pena tersebut di tanganku, “jangan dipegang seperti ini,” ia menutup tanganku sehingga aku menggenggam benda tersebut kuat. “Karena kalau diambil”, serta merta ia menarik pena itu dari tanganku, “akan terasa sakit.”

Sesaat kemudian ia melanjutkan dengan cara yang sama, membuka telapak tanganku, dan meletakkan kembali pena ke atasnya, “Kalau Tuhan memberikan sesuatu pada kita, peganglah seperti ini.” Ia membiarkan tanganku dalam kondisi terbuka. Diambilnya kembali pena tersebut, “kita tidak merasa sakit kalau demikian.”

Siapakah aku sehingga aku sedemikian ngotot terhadap sesuatu yang sesungguhnya merupakan hadiah dan titipan dari Sang Sumber?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home